Nicklas
Semarang Utunglah ada AC di dalam taksi itu. Sayangnya terlalu dingin. Saya duduk di sebuah kulkas... Tak tidur untuk dua puluh empat jam, saya merasa seperti mayat yang bisa berjalan. Pasti saya juga kelihatan sepert seorang Zombie. Noda-noda berwarna hitam berdansa di atas pandanganku dan saya sakit kepala. Di luar taksi ada rumah-rumah yang berbeda dengan yang di jerman, tamanan aneh, sepeda motor yang banyak. Ada pengendara sepeda motor yang memakai jaket kulit. Apakah saya sudah melihat hantu? Bagaimana bisa pria itu masih hidup? Dia pasti harus mati kepanasan. “Nicklas?”, tanya suara dari kejauhan. Saya memutar dan mengamati wajah yang kelihatan sedikit terhibur. Dian harus menanyakan sesuatu kepadaku. „Maaf“, saya bilang. „Aku tak mendengar kamu. Aku perluuuuu kopi atau akan ketiduran.“ „Jangan!”, dia tertawa. „Sepuluh menit lagi kita tiba di kantornya.” Saya mencoba bercakap-cakap dengan Dian, tapi sangat sulit. Saya tak bisa memusatkan perhatian pada pembicaraan dan berulang kali tak ingat kata bahasa Inggris. Walaupun dulu saya membaca beberapa buku tentang adat istiadat Indonesia, saya hampir masuk rumah dipakai sepatu. Di dalam rumah, Dian memperkenalkan saya kepada orang-orang yang bekerja di kantor itu. Saya langsung melupakan nama-nama. Aku merasa sangat bodoh. Saya mencoba berbicara dalam bahasa Indonesia dan untunglah mereka mengertiku. Sebelum berangkat ke indonesia saya menguatir bawah orang-orang indonesia tak mengerti aksenku dan bilang: "bahasa Indonesiamu bagus sekali tapi kami nggak ngerti kamu." Dua jam lagi, seteleh minum beberapa liter kopi, saya pergi ke luar. Saya jalan-jalan di sekitar kantornya dengan perasaan aneh. Seperti itulah hanya sebuah mimpi. Daerah itu terletak di tebing bukit supaya ada jalan yang curam. Saya salam kepada orang-orang: „Selamat siang.“ Orang-orang yang memandang terpaku saya pasti pikir „Apakah bule itu yang selalu tersenyum tersesat?“ Nanti saya terpikir bahwa kekeliruan kata „siang“ dengan „sore.“ Lucu banget. Waktu saya kembali ke kantor. Amel tanya saya kalau saya mau ikutnya ke sebuah warung. Dia gadis yang punya smartphone yang sangat besar dan tipis. Saya tidak tahu gunanya hp yang besar itu. Mungkin dia juga memakai hp itu sebagai papan memotong. Siapa tahu… Sewaktu kami keluar rumah sudah gelap. Matahari jatuh seperti batu dari surga. Bukit itu kelihatan hebat dengan lampu-lampu yang nyala. “Ayo, mari naik sepeda motor!”, berseru Amel.
Mar 26, 2014 7:32 PM
Corrections · 21
2

Semarang

Untunglah ada AC di dalam taksi itu. Sayangnya terlalu dingin. Aku seperti duduk di dalam sebuah kulkas... Tak tidur untuk selama dua puluh empat jam, aku merasa seperti mayat yang bisa berjalan. Pasti aku juga kelihatan seperti  seorang Zombie. Noda-noda berwarna hitam berdansa di atas pandanganku dan aku merasa pusing sakit kepala. Di luar taksi, ada rumah-rumah yang berbeda dengan yang ada di jerman, tanaman aneh, dan banyak sepeda motor yang banyak. Ada pengendara sepeda motor yang memakai jaket kulit. Apakah aku sedang sudah melihat hantu? Bagaimana mungkin bisa pria itu masih bisa hidup? Dia pasti seharusnya sudah mati kepanasan.

“Nicklas?”, tanya terdengar suara dari kejauhan.

Aku memutar membalikkan badan mengamati wajah yang kelihatan terlihat sedikit terhibur. Dian harus  pasti menanyakan sesuatu kepadaku.

„Maaf“, ku bilang. „Aku tak mendengar kamu. Aku perluuuuu kopi atau aku akan ketiduran.“

„Jangan!”, dia tertawa. „Sepuluh menit lagi kita akan tiba di kantornya.”

Aku mencoba bercakap-cakap dengan Dian, tapi sangat sulit. Aku tak bisa memusatkan perhatian pada pembicaraan dan berulang kali tak ingat kata dalam bahasa Inggris.

Walaupun dulu aku pernah membaca beberapa buku tentang adat istiadat Indonesia, aku hampir saja masuk rumah dipakai memakai sepatu. Di dalam rumah, Dian memperkenalkanku saya kepada orang-orang yang bekerja di kantor itu, tapi aku langsung melupakan nama-namanya. Aku merasa sangat bodoh. Lalu aku mencoba berbicara dalam bahasa Indonesia dan untunglah mereka mengertiku. Sebelum berangkat ke indonesia, aku sempat menguatir khawatir bawah orang-orang Indonesia tak mengerti aksenku dan bilang: "bahasa Indonesiamu bagus sekali tapi kami nggak ngerti kamu."

Dua jam lagi kemudian, setelah minum beberapa liter kopi, aku pergi ke luar. Aku berjalan-jalan di sekitar kantornya dengan perasaan aneh. Seperti itulah hanya sebuah sedang bermimpi. Daerah itu terletak di tebing bukit supaya dan ada jalan yang curam. Aku memberikan salam kepada orang-orang: „Selamat siang.“ Orang-orang yang memandangku terpaku saya pasti berpikir „Apakah bule itu yang selalu tersenyum itu sedang tersesat?“ Nanti Kemudian aku berpikir bahwa mungkin aku kekeliruan mengucapkan kata „siang“ dengan „sore.“ Lucu banget.

Waktu aku kembali ke kantor. Amel bertanya kepadaku kalau aku mau ikut dengannya ke sebuah warung. Dia gadis yang punya smartphone yang sangat besar dan tipis. Aku tidak tahu gunanya hp yang besar itu. Mungkin dia juga memakai hp itu sebagai papan memotong (talenan). Siapa tahu… Sewaktu kami keluar rumah, langit sudah mulai gelap. Matahari jatuh seperti batu dari surga. Bukit itu kelihatan hebat dengan lampu-lampu yang menyala.

“Ayo, mari naik sepeda motor!”, berseru Amel.

 

Tulisan yang sangat bagus! I'm delighted to read your writing! one thing that confuses me is that your inconsistency in using the pronoun "aku saya aku saya aku saya" kwkwwkkw but overall is great!

March 29, 2014
1

Semarang

Untunglah ada AC di dalam taksi itu. Sayangnya terlalu dingin. Saya seperti duduk di dalam sebuah kulkas... Tak tidur untuk selama dua puluh empat jam, membuat saya merasa seperti mayat yang bisa berjalan. Pasti saya juga kelihatan seperti seorang Zombie. Noda-noda berwarna hitam berdansa di atas pandanganku dan saya merasa sakit kepala. Di luar taksi terlihat ada rumah-rumah yang berbeda dengan yang ada di jerman, tamanan tanaman aneh, sepeda motor yang banyak. Ada pengendara sepeda motor yang memakai jaket kulit. Apakah saya sudah sedang melihat hantu? Bagaimana bisa pria itu masih hidup? Dia pasti seharusnya sudah mati kepanasan.

“Nicklas?”, tanya suara dari kejauhan.

Saya memberputar dan mengamati wajah yang kelihatan sedikit terhibur. Dian harus pasti sedang menanyakan sesuatu kepadaku.

„Maaf“, saya bilang. „Aku tak mendengar kamu. Aku perluuuuu kopi atau aku akan ketiduran.“

„Jangan!”, dia tertawa. „Sepuluh menit lagi kita tiba di kantornya.”

Saya mencoba bercakap-cakap dengan Dian, tapi sangat sulit. Saya tak bisa memusatkan perhatian pada pembicaraan dan berulang kali tak ingat kata bahasa Inggris.

Walaupun dulu saya pernah membaca beberapa buku tentang adat istiadat Indonesia, saya hampir masuk kedalam rumah dimepakai sepatu. Di dalam rumah, Dian memperkenalkan saya kepada orang-orang yang bekerja di kantor itu. Saya langsung melupakan nama-nama mereka. Aku Saya merasa sangat bodoh. Saya mencoba berbicara dalam bahasa Indonesia dan untunglah mereka mengertiku saya. Sebelum berangkat ke iIndonesia saya menguatir khawatir bawah orang-orang indonesia tak akan mengerti aksenku dan bilang: "bahasa Indonesiamu bagus sekali tapi kami nggak /tidak (tidak is more formal) ngerti/ mengerti maksud kamu."

Dua jam lagi kemudian, seteleh minum beberapa liter (really?it's too much i think, may be you mean is "beberapa gelas" some cup of coffee) gelas kopi, saya pergi ke luar. Saya jalan-jalan di sekitar kantornya dengan perasaan aneh. saya Seperti itulah hanya sebuah bermimpi. Daerah itu terletak di tebing bukit supaya sehingga ada jalan yang curam. Saya memberi salam kepada orang-orang: „Selamat siang.“ Orang-orang yang terpaku memandang terpaku saya, mereka pasti berpikir „Apakah bule itu yang selalu tersenyum itu tersesat?“ Nanti kemudian saya terpikir bahwa mungkin saya kekeliruan menyebutkan kata „siang“ dengan „sore.“ Lucu banget.

Waktu saya kembali ke kantor, Amel bertanya kepada saya kalau apakah saya mau ikutnya  dia ke sebuah warung atau tidak. Dia gadis yang punya smartphone yang sangat besar dan tipis. Saya tidak tahu gunanya hp yang besar itu. Mungkin dia juga memakai hp itu sebagai papan memotong. Siapa tahu… Sewaktu kami keluar rumah langit sudah gelap. Matahari jatuh seperti batu dari surga. Bukit itu kelihatan hebat dengan lampu-lampu yang nyala.

“Ayo, mari naik sepeda motor!”, berseru Amel.

 

Cerita yang bagus Nickas. Good job. tulisan kamu sudah bagus, terus berlatih. :)

March 27, 2014
1

#Additional Note :))

- Berdansa
>> in indonesia "dansa" is mean "the western dance"
so if you wanna to use word "Dance" you could use "menari"

 

-Noda-noda

>> if you meant "black shadows" you could use "Bayangan-bayangan hitam".

"Noda" in indonesia is more like a unwanted thing in your clothes. You pour the black tint in your white clothes so it make a black spot on your white clothes, and its called "noda hitam"

 

So your sentence could be like this : "Bayang-bayang hitam" "menari-nari" di atas pandanganku"

 

-Sakit kepala = headache

-Pusing = Dizzy

 

if you wanna use "headache" your sentence should be like this :

"bayang-bayang hitam menari-nari di atas pandanganku dan tiba-tiba kepalaku merasa sakit"

 or

"... Dan aku merasakan sakit di kepalaku"

 

-lucu banget

>> "banget" is informal. You can use "sekali" to make it more formal. Like :

"aku hebat sekali", "lucu sekali"

or you can use "benar-benar lucu"

 

-matahari jatuh

>> its mean more like "The sun is falling down from the sky and will hit the earth"

 

if you wanna use word like "Sunset" you can use "Matahari tenggelam"

 

And ur sentence could be like this :

"matahari yang tenggelam terlihat seperti sebuah batu dari surga"

>> thats mean the sun (sunrise) looks like a stone from heaven

 

-Bukit terlihat hebat

>> hebat in here can make lil bit awkward to be read.

 

if you wanna use like a Big, strong hill you can use word "Megah", "gagah".

 

But if u wanna just say "Awesome" you can use "Indah" or " sangat indah"

 

so ur sentence could be like this ;

"bukit itu terlihat sangat indah dengan lampu-lampu yang menyala"

 

=====•

 

oke!! Nice atory.. Happy writing!! *wink*

March 29, 2014
1

Semarang

Untunglah ada AC di dalam taksi itu. Sayangnya terlalu dingin. Saya seperti duduk di sebuah kulkas...Tak tidur selama dua puluh empat jam, saya merasa seperti mayat hidup yang bisa berjalan. Pasti saya juga kelihatan seperti seorang Zombie. Noda-noda Bayangan berwarna hitam berdansa di atas pandanganku dan saya merasa sakit kepala (Pusing). Di luar taksi ada rumah-rumah yang berbeda dengan yang di Jerman, tamanan tanaman aneh, banyak sepeda motor yang banyak. Ada pengendara sepeda motor yang memakai jaket kulit. Apakah saya baru saja sudah melihat hantu? Bagaimana bisa pria itu masih hidup? Dia pasti harus mati kepanasan.

“Nicklas?”, tanya terdengar suara dari kejauhan.

Saya memutar membalikkan badan dan mengamati wajah yang kelihatan terlihat sedikit terhibur. Dian harus pasti menanyakan sesuatu kepadaku.

„Maaf“, saya bilang. „Aku tak mendengar kamu. Aku perluuuuu kopi atau aku akan ketiduran.“

„Jangan!”, dia tertawa. „Sepuluh menit lagi kita tiba di kantornya.”

Saya mencoba bercakap-cakap berbicara dengan Dian, tapi sangat sulit. Saya tak bisa memusatkan perhatian pada pembicaraan dan berulang kali tak ingat kata dalam bahasa Inggris.

Walaupun dulu saya pernah membaca beberapa buku tentang adat istiadat Indonesia, saya hampir masuk kedalam rumah dipakai memakai sepatu. Di dalam rumah, Dian memperkenalkan saya kepada orang-orang yang bekerja di kantor itu. Saya langsung melupakan nama-nama mereka. Aku merasa sangat bodoh. Saya mencoba berbicara dalam bahasa Indonesia dan untunglah mereka mengertiku. Sebelum berangkat ke indonesia saya menguatir khawatir bawah orang-orang di Indonesia tak mengerti aksenku dan bilang: "bahasa Indonesiamu bagus sekali tapi kami nggak ngerti kamu."

Dua jam lagi, seteleh minum beberapa liter kopi, saya pergi ke luar. Saya jalan-jalan di sekitar kantornya dengan perasaan aneh. Seperti itulah hanya sebuah mimpi. Daerah itu terletak di tebing bukit supaya dan ada jalan yang curam. Saya memberi salam kepada orang-orang: „Selamat siang.“ Orang-orang yang memandangku dan terpaku dan saya pasti mereka berpikir „Apakah bule itu adalah orang yang selalu tersenyum sesaat tersesat?“ Nanti saya terberpikir bahwa kekeliruan kata „siang“ dengan „sore.“ Lucu banget.

Waktu saya kembali ke kantor. Amel tanya saya kalau apakah saya mau ikutnya ke sebuah warung. Dia gadis yang punya smartphone yang sangat besar dan tipis. Saya tidak tahu gunanya hp yang besar itu. Mungkin dia juga memakai hp itu sebagai (untuk) papan memotong (Talenan). Siapa tahu… Sewaktu kami keluar rumah sudah gelap. Matahari jatuh tenggelam seperti batu dari surga. Bukit itu kelihatan hebat dengan lampu-lampu yang nyala.

“Ayo, mari naik sepeda motor!”, berseru Amel.

 

Tell us more stories about your experinces in Indonesia..Nickcules!! 

March 27, 2014

Semarang

Utunglah ada AC di dalam taksi itu. Sayangnya terlalu dingin. Saya duduk di sebuah kulkas... Tak tidur untuk dua puluh empat jam, saya merasa seperti mayat yang bisa berjalan. Pasti saya juga kelihatan seperti seorang Zombie. Noda-noda berwarna hitam berdansa di atas pandanganku <em>(-ku? aku? :D kamu harus konsisten dalam hal pemilihan kata. "Saya" dan "Aku", keduanya mempunyai arti yang sama, tapi.. Saya (formal), Aku/-ku (informal). Oke?)</em> dan saya sakit kepala. Di luar taksi, ada rumah-rumah yang berbeda dengan yang di Jerman, tamanan aneh, dan sepeda motor yang banyak. Ada pengendara sepeda motor yang memakai jaket kulit. Apakah saya baru saja melihat hantu? Bagaimana bisa pria itu masih hidup? Dia seharusnya sudah mati kepanasan.

“Nicklas?”, tanya suara dari kejauhan.

Saya memutar dan mengamati wajah yang kelihatan sedikit terhibur. Dian pasti ingin menanyakan sesuatu kepadaku.

“Maaf“, saya bilang. “Aku tak mendengar kamu. Aku perlu kopi, atau kalau tidak, aku akan ketiduran.“

“Jangan!”, dia tertawa. “Sepuluh menit lagi kita tiba di kantornya.”

Saya mencoba bercakap-cakap dengan Dian, tapi sangat sulit. Saya tak bisa memusatkan perhatian pada pembicaraan dan berulang kali tak ingat kosa kata bahasa Inggris.

Walaupun dulu saya pernah membaca beberapa buku tentang adat istiadat Indonesia, namun saya hampir masuk rumah dengan memakai sepatu. Di dalam rumah, Dian memperkenalkan saya kepada orang-orang yang bekerja di kantor itu, tapi saya langsung lupa nama-nama mereka. Aku merasa sangat bodoh. Saya mencoba berbicara dalam bahasa Indonesia dan untunglah mereka dapat mengerti. Sebelum berangkat ke indonesia dulu, saya khawatir jika orang-orang Indonesia tak mengerti aksen<em>(logat)</em>ku dan bilang: "bahasa Indonesiamu bagus sekali tapi kami nggak ngerti kamu."

Dua jam kemudian, seteleh minum beberapa liter<em>(wow!)</em> kopi, saya pergi ke luar. Saya jalan-jalan di sekitar kantor tersebut dengan perasaan aneh. Itu seperti hanya sebuah mimpi. Daerah itu terletak di suatu tebing di bukit, sehingga ada jalan yang curam. Saya mengucapkan salam kepada penduduk sekitar: “Selamat siang.“ Orang-orang yang memandang terpaku kepada saya pasti berpikir “Apakah bule yang selalu tersenyum itu tersesat?“ Kemudian saya terpikir, apa mungkin tadi ada kekeliruan saat saya mengucapkan kata “siang“ dengan “sore.“ Lucu banget.

Waktu saya kembali ke kantor. Amel tanya saya kalau saya mau ikut dia ke sebuah warung. Dia gadis yang punya smartphone yang sangat besar dan tipis. Saya tidak tahu gunanya hp yang besar itu. Mungkin dia juga memakai hp itu sebagai papan memotong <em>(LOL :D)</em>. Siapa tahu…

 

Sewaktu kami keluar rumah, hari sudah gelap. Matahari jatuh seperti batu dari surga. Bukit itu kelihatan hebat dengan lampu-lampu yang menyala.

“Ayo, mari naik sepeda motor!”, seru Amel.

<em>(atau: Amel berseru, "Ayo naik sepeda motor!”)</em>

March 28, 2014
Show more
Want to progress faster?
Join this learning community and try out free exercises!